LIPUTAN BRAMASTA,JAWAPOS 1 APRIL 2009

Jumat, 24 April 2009

Radar Kediri

[ Rabu, 01 April 2009 ]

Kampung Senapan Angin Pare, setelah Terjepit Perda Perburuan Satwa

Penjualan Turun Terus, Berharap Banyak Lomba

Pare tak hanya ada 'Kampung Inggris'. Di daerah ini juga ada 'Kampung Senapan Angin'. Produknya berkelas nasional. Tapi, kini industri tersebut tergencet banyaknya regulasi pemerintah terkait perlindungan satwa.

ANTUJI H. MASROH, Kediri

---

Jalan Semeru dan Jalan Slamet tak beda jauh dengan jalan-jalan sekunder lain di kawasan Kota Pare. Tak terlalu lebar tapi terkenal padat. Motor maupun mobil terus berseliweran tiada henti.

Jalan Slamet membujur dari barat ke timur. Sedangkan Jalan Semeru melintang arah utara-selatan. Kedua jalan dengan lebar sekitar tiga meter itu bertemu di satu pertigaan. Warga biasa menyebut kawasan itu sebagai kawasan Tangsi.

Gang-gang kecil bertebaran di kanan kiri kedua jalan itu. Gang yang menjadi jalan menuju perkampungan warga di tengah pusat kota Pare. Walaupun dilengkapi trotoar, tapi nyaris tak ada pejalan kaki yang melintas.

Tapi, kedua jalan tersebut punya kekhasannya sendiri. Berbeda dengan jalan-jalan lain. Di depan rumah warga, banyak terdapat etalase. Terbikin dari kaca tembus pandang. Dengan posisi yang mencolok mata.

Di dalam etalase-etalase itu juga terdapat benda yang sangat khas. Terbuat dari campuran kayu dan logam. Memiliki pegangan kayu yang disebut popor. Pelatuk kecil dan laras yang panjangnya sekitar setengah meter. Tak ketinggalan ada pegangan untuk memompa.

Siapapun yang melihat pasti tahu benda itu adalah senapan angin. Ya, benda itulah yang sangat mudah ditemui di kawasan tersebut. Sejak puluhan tahun silam.

Di kawasan yang lokasinya tak jauh dari kantor Polsek Kota Pare itu setidaknya terdapat lima perusahan besar penghasil senapan angin. Pionernya adalah pabrik penghasil senapan angin merek Bramasta yang berdiri sekitar 70-an. Sementara warga di kanan kiri pabrik itu banyak yang memiliki showroom jual-beli senapan angin, reparasi, dan toko onderdilnya. "Saya dulu juga karyawan pabrik. Tapi sekarang sudah tidak," kata Gatot Junaidi, 49, warga di kawasan itu.

Pria yang sekarang bekerja sebagai penarik becak itu dulu adalah salah satu karyawan pertama Bramasta. Sebagai tukang pembuat popor. "Sejak didirikan saya sudah mulai kerja. Gaji saya waktu itu Rp 1.750 per bulan. Saya berhenti tahun 1998," kenangnya.

Begitu juga dengan Soetoyo, 57, warga Jalan Slamet yang saat ini memiliki showroom senapan angin sendiri. "Dulu saya kerja. Sekarang jualan saja yang bekas-bekas ini," katanya sembari menunjukkan koleksi senapan angin merek Bramasta di etalasenya.

Dari penelusuran Radar Kediri, Bramasta didirikan oleh trio bersaudara. Yakni Khuzaini (alm), Kutaji, dan Mat Susin yang juga warga setempat. Mereka belajar secara otodidak cara membuat senapan angin. Itu setelah ketiganya mendapat pinjaman senapan angin dari seorang tentara.

Mulai 80-an usaha pembuatan senapan angin tersebut berkembang. Jumlah karyawan mencapai ratusan. Sementara kapasitasnya mencapai 5 ribu unit per bulannya.

Perusahaan senapan angin lainnya, yakni Bima Asta, menyusul didirikan, oleh dua di antara ketiga bersaudara itu. Bramasta sendiri kini sudah dipegang oleh generasi kedua. Yakni Ipud Bramasta, 38, putra pertama Khuzaini. "Sejak ayah meninggal saya yang pegang usaha ini," kata pria berambut gondrong itu.

Ipud mengaku saat ini adalah masa-masa ujian berat usaha pembuatan senapan angin. Berbagai rintangan kini menghadang di depan mata. Mulai dari kendala bahan baku, regulasi pemerintah yang berdampak pada turunnya permintaan, hingga makin ketatnya persaingan. "Sekarang bahan baku mahal sekali. Naik berkali-kali lipat," kata pria yang menjual produknya seharga Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu itu.

Yang membuat Ipud bertahan adalah brand senapan Bramasta yang juga sebagai produk nasional. Berbagai instansi milier termasuk Kostrad rutin menjadi pelanggan. "Sejauh ini saya pertahankan semua barangnya made in Indonesia. Kayu, besi, baut-baut tidak ada yang impor. Jadi 100 persen Indonesia," tegas bapak dua anak itu.

Sedangkan kendala regulasi adalah dikeluarkannya perda-perda yang melarang perburuan liar. Termasuk menembak burung. "Sebenarnya menembak kan tidak hanya untuk berburu. Bisa untuk lomba, olahraga, ketrampilan," dalih pria dengan sekitar 10 karyawan itu.

Dengan adanya perda itu, Ipud mengaku penjualannya makin turun dari hari ke hari. "Dulu produksi bisa sampai ribuan. Sekarang sebulan paling 100-200 unit," keluhnya.

Selain adanya perda, makin banyaknya pabrik yang berdiri juga membuat pasar semakin sempit. Karena itu dia berharap pemerintah bisa memberikan perhatian pada industri pembuatan senapan angin di Kabupeten Kediri. Pasalnya, usaha itu banyak menyerap tenaga kerja. "Harapannya sering ada lomba-lomba menembak. Jadi kegiatan menembak dan produksinya tetap lestari," harapnya. (jie/fud)

0 komentar: